Pada tanggal 8 Juni 2025, masyarakat Bugis di perantauan, khususnya di DKI Jakarta, mengalami momen bersejarah dengan diluncurkannya program budaya bernama Sekolah Lontara. Inisiatif pendidikan non-formal ini bertujuan untuk melestarikan bahasa, aksara, dan kearifan lokal Bugis-Makassar, dan dilaksanakan oleh Ikatan Mahasiswa Sulawesi Selatan Cabang DKI Jakarta.
Kegiatan peluncuran yang berlangsung secara hybrid di Menteng, Jakarta Pusat, menarik perhatian banyak tokoh nasional, budayawan, dan generasi muda Sulawesi Selatan. Kehadiran Muhammad Aras Prabowo, seorang akademisi dan pemerhati budaya, semakin menegaskan pentingnya program ini bagi pelestarian budaya lokal.
Urgensi Pelestarian Budaya dalam Era Modernisasi
Dalam sambutannya, Aras menekankan bahwa Sekolah Lontara adalah inisiatif yang sangat penting. Di tengah arus modernisasi yang semakin deras, pelestarian identitas budaya menjadi semakin mendesak. Bahasa dan aksara daerah bukan hanya simbol sejarah, tetapi juga fondasi nilai-nilai kolektif masyarakat. Aksara Lontara yang merupakan warisan intelektual Bugis-Makassar menyimpan kekayaan filosofis dan literasi yang perlu ditransmisikan kepada generasi muda.
Lebih dari sekadar pengetahuan, Aras menjelaskan bahwa budaya Bugis memiliki relevansi dalam sistem ekonomi yang masih dapat ditemukan hingga saat ini. Menurutnya, konsep teseng atau bagi hasil mencerminkan kearifan lokal yang telah ada dan harus terus dijaga. Ini adalah contoh nyata bahwa masyarakat Bugis telah mengembangkan sistem ekonomi yang adil, berlandaskan gotong royong dan keadilan sosial.
Strategi dan Kurikulum Sekolah Lontara
Untuk itu, penting bagi Sekolah Lontara memasukkan diskursus mengenai ekonomi budaya lokal seperti teseng ke dalam kurikulum. Menurut Aras, pembahasan kebudayaan hendaknya tidak hanya terbatas pada aspek simbolik, tetapi juga mencakup dimensi sosial-ekonomi dan kebijakan yang dapat mendukung pelestarian budaya. Ini adalah langkah yang tepat untuk memastikan pengetahuan dan kearifan lokal tidak hanya tersimpan, tetapi juga diperkuat dalam struktur pendidikan.
Ketua Panitia, Muhammad Hajrin Nur, menjelaskan bahwa Sekolah Lontara merupakan bentuk konkret dari kepedulian generasi muda dalam melestarikan identitas budaya Bugis-Makassar. Antusiasme para peserta sangat tinggi; lebih dari 300 orang dari berbagai daerah, bahkan mancanegara, telah mendaftar sebelum hari peluncuran.
Program ini dirancang dengan lima pembahasan utama yang dibagi menjadi delapan pertemuan selama satu kali program. Pertemuan dilakukan secara daring setiap dua minggu sekali, sehingga diharapkan peserta dapat fleksibel dalam mengikuti proses belajar. Ini tidak hanya akan menciptakan ruang untuk menyebarkan pengetahuan, tetapi juga memperkuat jaringan komunitas di antara para peserta yang memiliki minat sama.
Acara peluncuran dihadiri juga oleh berbagai tokoh penting, seperti Sudarno dari Badan Penghubung Pemerintah, Muzakkir Djabir sebagai Tenaga Ahli DPD RI, dan Andi Syamsul Rijal yang merupakan Direktur Kebudayaan Kementerian Kebudayaan. Dengan kehadiran berbagai elemen masyarakat, Sekolah Lontara mampu menciptakan momentum yang signifikan dalam pelestarian budaya Bugis yang berskala nasional bahkan internasional. Hal ini menandakan bahwa generasi muda siap untuk memahami dan memperkuat identitas kebangsaan mereka melalui pengetahuan tentang akar budaya.