www.arahberita.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan adanya ketidaksinkronan yang signifikan antara Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang KPK yang berlaku saat ini. Ketidaksinkronan ini dianggap perlu ditangani agar tugas dan kewenangan lembaga antirasuah tersebut tetap berjalan efektif.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menegaskan bahwa lembaganya telah melakukan diskusi mendalam melalui forum diskusi kelompok terpumpun (FGD) untuk memahami lebih dalam permasalahan ini. Pada Kamis, 10 Juli 2025, diskusi tersebut melibatkan sejumlah ahli hukum yang memberikan pandangan kritis mengenai pasal-pasal dalam RUU KUHAP yang bermasalah.
Budi menyatakan bahwa beberapa pasal dalam RUU tersebut memiliki implikasi yang dapat mengganggu tugas KPK. “Kami ingin memastikan tidak ada yang menghambat upaya pemberantasan korupsi yang sudah diatur dalam perundang-undangan yang ada,” ungkapnya saat konferensi pers.
Kedudukan Hukum dan Implikasi Perubahan RUU KUHAP
Pentingnya pembahasan mengenai RUU KUHAP ini semakin mendesak, terutama dalam konteks pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam diskusi tersebut, para ahli hukum sepakat bahwa pengaturan lex specialis yang mengatur penegakan hukum terkait korupsi harus dipertahankan. Hal ini penting untuk memastikan bahwa tindakan korupsi tetap dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime).
Pandangan para ahli ini didasari atas fakta bahwa kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan korupsi telah diakui oleh Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, penegakan hukum yang terfokus pada kasus-kasus korupsi diharapkan tetap diperkuat dalam revisi RUU KUHAP mendatang.
Selama FGD tersebut, terungkap pula bahwa sejumlah pasal dalam RUU KUHAP perlu dipertimbangkan lebih lanjut agar tidak bertentangan dengan keinginan untuk memperkuat KPK. Para ahli menekankan bahwa penting bagi pengaturannya tidak menyusutkan otoritas lembaga tersebut.
Dinamika Pembahasan RUU KUHAP di Komisi III DPR RI
Komisi III DPR RI saat ini tengah memprioritaskan pembahasan RUU KUHAP sebagai bagian dari program legislasi nasional tahun 2025. Pada Kamis, 10 Juli 2025, mereka mengumumkan bahwa telah menyelesaikan tahapan pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dengan 1.676 poin yang dikaji. Ini menunjukkan keseriusan DPR dalam memperbarui hukum acara pidana yang ada.
Menurut informasi yang beredar, setelah berhasil menyelesaikan pembahasan DIM, Komisi III akan melanjutkan ke tahap penentuan prioritas revisi. Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi berkepentingan dalam merumuskan perubahan yang disarankan agar semua pihak dapat mempercepat proses menuju hukum yang lebih efektif.
Dengan adanya sokongan dari berbagai pihak, termasuk para ahli hukum dalam FGD, diharapkan pembahasan RUU KUHAP bisa berlangsung lebih lancar. RUU ini dianggap krusial untuk menghasilkan undang-undang yang tidak hanya sejalan dengan perkembangan hukum, tetapi juga efektif dalam menanggulangi korupsi.
Pentingnya Sinkronisasi dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi
Sinkronisasi antara RUU KUHAP dan UU KPK menjadi sangat penting mengingat kedua undang-undang tersebut berkaitan erat dalam empat pilar utama penegakan hukum. Adanya ketidakcocokan di antara kedua undang-undang ini dapat menimbulkan celah hukum yang menghambat penegakan hukum, terutama dalam konteks pemberantasan korupsi.
Ketidaksinkronan hukum juga dapat mengurangi efektivitas KPK dalam menjalankan tugasnya. Karena itu, KPK berupaya melakukan lobi dan advokasi kepada DPR agar RUU KUHAP mendatang mencerminkan kebutuhan akan penegakan hukum yang lebih kuat dan efektif di bidang tindak pidana korupsi.
Dalam hal ini, kolaborasi antara KPK, DPR, dan para ahli akan menciptakan sinergi positif dalam penyusunan hukum yang baru. Dengan rencana yang kokoh, diharapkan berbagai tantangan yang dihadapi dalam sistem hukum di Indonesia dapat teratasi dengan baik.