www.arahberita.id – Di tengah protes yang melimpah, Masjid Jami Nurul Tijaroh di Kampung Tegal Jaya, Desa Tobat, Kecamatan Balaraja, Kabupaten Tangerang, Banten, mengalami pembongkaran mendalam oleh petugas menggunakan alat berat. Kejadian ini menyisakan perasaan duka di hati jamaah setempat yang merasa tindakan tersebut sangat tidak manusiawi dan mengganggu tatanan beribadah mereka.
H. Payuni, seorang pedagang berusia 55 tahun yang rutin beribadah di masjid tersebut, mengungkapkan kekecewaannya. Ia menekankan bahwa pembongkaran berlangsung tanpa adanya musyawarah terlebih dahulu, sehingga warga merasa diabaikan serta tidak dihargai haknya untuk beribadah.
Menurut Payuni, sebelumnya ada informasi bahwa masjid baru akan dibangun dan masjid yang lama akan dirubuhkan setelahnya. Namun, kenyataan yang terjadi jauh dari harapan, di mana pembongkaran justru dilakukan secara paksa dan mendadak.
Pembongkaran ini telah mengguncangkan komunitas setempat, yang selama bertahun-tahun menggunakan masjid sebagai tempat ibadah. Banyak jamaah yang merasa tindakan tersebut sama sekali tidak berperikemanusiaan, bahkan lebih parah dari sikap penjajah.
Masjid yang terdiri dari struktur yang layak untuk menampung lebih dari 300 jamaah pada waktu sholat Jumat dianggap masih berfungsi dengan baik. Ketika alat berat mulai bekerja, warga dan para pedagang berusaha menghentikan proses tersebut, namun upaya mereka sia-sia belaka.
Tanggapan Masyarakat Terhadap Pembongkaran Masjid Jami Nurul Tijaroh
Reaksi dari masyarakat sekitar sangat beragam, banyak yang merasa kecewa dan marah. Mereka menganggap tindakan pembongkaran ini sebagai pelanggaran hak atas kebebasan beribadah yang diatur dalam undang-undang.
Saat alat berat merubuhkan masjid, banyak peralatan sholat yang tertumpuk di puing-puing. Hal ini menciptakan suasana haru dan duka yang mendalam bagi jamaah yang telah menganggap masjid tersebut sebagai rumah kedua bagi mereka.
Warga mencatat bahwa keputusan tersebut diambil tanpa memberi kesempatan bagi komunitas untuk mengemukakan pendapat atau mencari solusi alternatif. Hal ini menambah kepedihan dan kemarahan warga, yang merasa diabaikan oleh pihak berwenang.
Kondisi Setelah Pembongkaran Masjid
Setelah pembongkaran, yang tersisa di lokasi hanyalah tumpukan puing dan serpihan bangunan. Ini menciptakan tantangan baru bagi para jamaah yang sebelumnya mengandalkan masjid untuk beribadah.
Para pedagang di sekitarnya kini harus menempuh jarak sekitar 500 meter untuk melaksanakan sholat, termasuk sholat Jumat yang akan datang. Jarak ini dirasa cukup jauh dan menyulitkan banyak orang, terutama bagi mereka yang memiliki kesibukan sehari-hari yang padat.
Pembongkaran berlangsung dari pukul 11.00 WIB hingga 15.00 WIB, dan sepanjang waktu itu, warga berupaya mencegah tindakan tersebut. Namun, upaya tersebut tetap diabaikan oleh petugas yang tetap melanjutkan pekerjaan mereka sampai masjid sepenuhnya runtuh.
Dampak Sosial dan Komunitas dari Kejadian Ini
Dampak dari pembongkaran masjid tidak hanya dirasakan pada aspek spiritual, tetapi juga pada interaksi sosial masyarakat. Banyak yang merasa kehilangan ruang untuk berkumpul dan berkomunitas, yang selama ini tercipta di sekitar masjid.
Situasi ini tidak hanya menciptakan ketidakpuasan, tetapi juga mengangkat pertanyaan besar tentang bagaimana pemerintah seharusnya melibatkan komunitas dalam pengambilan keputusan terkait tempat ibadah. Tindakan seperti ini tentu menciptakan kesan negatif terhadap hubungan antara pemerintah dan masyarakat.
Warga berharap ada upaya perbaikan dan perhatian dari pemerintah untuk mendengar dan mempertimbangkan suara mereka. Komunitas merasa perlu untuk diakui dan dihargai dalam setiap keputusan yang berpengaruh terhadap kehidupan beragama dan sosial mereka.